Author Archives: Denny Indrayana

Pribumi dan Tenun KeIndonesiaan

20 Oct 17
Denny Indrayana
No Comments

PRIBUMI DAN TENUN KEINDONESIAAN

Kompas, 20 Oktober 2017

Denny Indrayana

“Saya sendiri menanya diri saya kadang-kadang. He Soekarno, apa kowe iki bener-bener asli? Ya, engkau itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep. Saya tidak tahu, Saudara-Saudara. Coba lah, siapa bisa menunjukkan asli atau tidak asli dari darahnya itu. Saya ini tidak tahu, Saudara-Saudara, dianggap asli. Tetapi mungkin saya itu juga 10%, 5%, 2%, ada darah Tionghoa di dalam badan saya ini! (Pidato Bung Karno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki, 14 Maret 1963).

 

Kata “pribumi” kembali menjadi topik perdebatan. Utamanya setelah dipidatokan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Mengapa kata itu sangat sensitif dan cenderung bermakna diskriminatif? Berikut adalah jawabannya dari sejarah panjang dan perjalanan hukum ketatanegaraan.

Sedari awal nusantara tidak dihuni hanya oleh satu suku asli. Berbeda dengan Australia yang punya suku Aborigin atau Amerika yang mempunyai suku Indian, yang memang dianggap sebagai penduduk asli (indigenous people). Tidak ada satupun suku di Indonesia yang bisa mengatakan merekalah satu-satunya suku asli Indonesia.

Kalaupun ada konsep “pribumi”, maka kata itu bukan merujuk pada satu suku di Indonesia. Pribumi lahir dari kolonialisme yang menjajah Ibu Pertiwi, dengan politik pecah-belahnya. Berdasarkan Undang-Undang Kolonial Belanda tahun 1854, penduduk Indonesia dibagi ke dalam tiga kasta. Ras kelas pertama adalah golongan Eropa, bangsa kulit putih. Ras kelas kedua adalah golongan Timur Asing, yang meliputi Tionghoa, Arab, dan India. Ras yang ketiga, kasta terbawah, adalah inlander yang diterjemahkan sebagai “pribumi”. Itulah cikal-bakal segregasi dan diskriminasi hukum dalam tubuh masyarakat Hindia Belanda. Kebijakan dikriminatif itu bertahan meskipun ada perubahan undang-undang Belanda di tahun 1925, Pasal 163 Indische Staatsregeling tetap mengadopsi tiga kasta penduduk tersebut.

Pada tahun 1920-an itupula kata Indonesia semakin marak dan menjadi simbol perjuangan kemerdekaan, yang berpuncak pada Sumpah Pemuda 1928 dengan deklarasi satu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Bagi pemerintah penjajah, penduduk Hindia Belanda lebih pas dijuluki inlander ketimbang Indonesia. Kata pertama lebih bernuansa melecehkan, sedangkan yang kedua lebih bermakna subversive, karena bentuk pemberontakan kepada pemerintahan kolonial.

Di masa perjuangan kemerdekaan, menjadi pribumi karenanya terkesan lebih Indonesia. Perasaan heroik itu dipersonifikasikan dalam perumusan naskah asli UUD 1945, yang dalam Pasal 6 ayat (1) mengatur, “Presiden adalah orang Indonesia asli”. Makna historis-yuridis dari “Indonesia Asli” pada norma tersebut adalah “pribumi”. Artinya keturunan Indonesia dari golongan Eropa ataupun Timur Asing tidak bisa menjadi presiden Indonesia. Bahkan, sebelum akhirnya dicoret, rumusan awal pasal tersebut juga mensyaratkan presiden “beragama Islam”. Frase tersebut dihilangkan bersama-sama dengan penggantian kata “Muqaddimah” yang bernuansa Islam dan tujuh kata Piagam Jakarta, terkait penerapan syariat Islam.

Terkait dengan aspirasi keIslaman itulah, maka makna sosiologis kata “pribumi” bukan hanya terbatas pada orang Indonesia asli saja, tetapi juga beragama Islam. Di sini secara sosiologis-historis, kata “pribumi” di Indonesia mempunyai makna yang hampir sama dengan kata “bumiputera” yang ada di Malaysia. Di negeri jiran tersebut, bumiputera bukan hanya dimaksudkan untuk etnis Melayu, tetapi juga beragama Islam. Karena itu etnis Melayu yang non-muslim tidak dianggap Bumiputera, sebagaimana halnya etnis Tionghoa dan India. Di Indonesia, faktor kesamaan beragama Islam itu pula yang menyebabkan etnis Arab terasa lebih mudah melebur ke dalam pemaknaan kata “pribumi” ketimbang etnis China, meskipun keduanya sama-sama masuk dalam kasta Timur Asing di era Hindia Belanda.

Segregasi hukum di era penjajahan Belanda tersebut terus berlanjut di masa awal kemerdekaan, utamanya dalam aturan hukum terkait kewarganegaraan. Selain Pasal 6 ayat (1), Pasal 26 UUD 1945 juga membunyikan frasa “Indonesia Asli” sebagai syarat menjadi WNI. Terkait hukum kewarganegaraan ini, makna sosiologis-yuridis kata “non-pribumi” di Indonesia menjadi lebih mengarah kepada saudara-saudara kita dengan etnis Tionghoa.

Identiknya Republik Rakyat Tiongkok dengan Partai Komunis, menyebabkan berbagai kebijakan hukum kewarganegaraan pemerintahan Orde Lama dan—utamanya—Orde Baru mengarah kepada perbedaan perlakuan kepada etnis Tionghoa. Saya tidak akan mengulas satu-persatu aturan hukum yang diskriminatif tersebut. Pada dasarnya aturan hukum demikian membatasi kesempatan etnis Tionghoa menjadi WNI, serta pembatasan kegiatan keagamaan serta adat-istiadat China.

Kebijakan diskriminatif demikian sudah mulai dihilangkan di era Reformasi. Sedari awal pemerintahannya, Presiden BJ Habibie sudah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 yang tidak hanya melarang penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi “dalam  semua  perumusan  dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan”, tetapi lebih jauh memerintahkan dihilangkannya diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras dalam setiap pelayanan negara.

Angin lebih segar dihembuskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang di antaranya, menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Keppres Nomor 14 Tahun 1967 terkait larangan pelaksanaan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat China. Lebih jauh, pada perubahan UUD 1945, kata “Indonesia asli” tidak lagi ada dalam syarat presiden ataupun aturan kewarganegaraan. Karena itu, seseorang yang sejak lahir adalah WNI seperti halnya Anies Baswedan yang keturunan Arab, ataupun Basuki Tjahaya Purnama yang berdarah Tionghoa, keduanya mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi Presiden Indonesia.

Kebijakan antidiskriminasi juga ditegaskan dalam berbagai aturan hukum seperti BAB terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perubahan UUD 1945, UU HAM, UU Pengadilan HAM, hingga UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan menjelang akhir jabatannya, untuk makin menghilangkan praktik diskriminasi, SBY menerbitkan Keppres Nomor 12 Tahun 2014 yang pada intinya mengubah istilah China menjadi Tionghoa.

Demikianlah, makna kata “pribumi” yang awalnya hanya mengacu pada inlander Indonesia asli, sebagai hasil ciptaan kolonial Belanda, sudah bergeser dan seharusnya tidak lagi dimaknai sempit sebagai hanya WNI non-keturunan, tetapi semua “WNI sejak kelahirannya”. Sebagaimana frasa dan definisi itu diatur dalam syarat presiden Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 setelah amandemen. Demikian pula, istilah “non-pribumi” yang sangat diskriminatif dan lebih mengacu kepada saudara-saudara kita Tionghoa, sebaiknya dihilangkan dan tidak lagi digunakan.

Apalagi, jika pemaknaan diskriminatif etnis Tionghoa, isu komunis, dan agama itu dikapitalisir dalam kontestasi politik perebutan kekuasaan seperti Pilkada dan Pilpres 2019. Dampak kerusakan sosiologisnya akan sangat berbahaya dalam hal menjaga tenun kebangsaan kita yang berbhinneka.

Bukan berarti saya tidak setuju adanya persoalan serius kesenjangan sosial yang mewarnai sentimen etnis dalam masyarakat kita. Laporan Bank Dunia 2016 menunjukkan, hanya 1% WNI yang menguasai 50,3%, atau hanya 10% yang menguasai 77% asset nasional. Ketimpangan yang sangat tinggi itu menyebabkan Indonesia dinobatkan sebagai juara ketiga dunia dalam hal kesenjangan ekonomi. Namun, alasan ketimpangan ekonomi itu tidak boleh menjadi dasar kebijakan yang diskriminatif. Keberpihakan kepada pengusaha lemah tentu harus dilakukan, tanpa membedakannya berdasarkan etnis dan agama tertentu.

Terlebih lagi, kesenjangan demikian terjadi karena masih suburnya sistem ekonomi yang koruptif dan kolutif. Dimana pengusaha akan lebih sukses bisnisnya jika mempunyai bekingan politik dari penguasa. Sebagaimana tercermin dalam indeks crony-capitalism yang dilansir the Economist pada tahun 2016, yang menempatkan Indonesia sebagai juara ketujuh dunia dalam hal kolusi pengusaha dan penguasa. Dengan realita demikian, masalah kesenjangan ekonomi yang sangat timpang, bukanlah andil dari etnis pengusaha tertentu saja, tetapi merupakan akibat dari kebijakan koruptif dan kolutif dari penguasa. Artinya, perang terhadap iklim usaha yang koruptiflah yang harus lebih dikedepankan.

Sebagai penutup, berbeda dengan Presiden Soekarno, saya tahu persis punya darah Tionghoa. Ayah saya Sunda, Ibu saya Banjar, dan nenek saya (dari ayah) berasal dari Tionghoa. Anak-anak kami mendapatkan darah Jawa, karena istri saya dari Pekalongan. Ketika ada yang bertanya saya asli suku mana, dengan mantap saya katakan: Indonesia! (*)

Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne, Australia

Konstitusionalitas Panitia Angket DPR atas KPK

13 Sep 17
Denny Indrayana
No Comments

 

Panitia Angket DPR atas KPK: Tidak Sah, Bertentangan dengan UUD 1945, bahkan merupakan Tindak Pidana Obstruction of Justice

Hari Selasa kemarin (12/09) saya mendapatkan kehormatan untuk menyampaikan keterangan ahli tertulis ke hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat. Pada dasarnya saya menyampaikan konstitusionalias Hak Angket DPR kepada KPK.

Telah banyak yang menyampaikan soal isu ini, juga telah banyak berita atasnya. Saya sendiri telah menuliskan beberapa artikel, bahkan kultwit terkait masalah tersebut. Tetapi karena pentingnya isu ini, saya tentu tidak keberatan–bahkan merupakan kehormatan–ketika ICW sebagai salah satu pemohon uji materi UU MD3 terkait hak angket itu meminta saya untuk menjadi Ahli mereka.

Pada intinya saya berpandangan bahwa, Panitia Angket DPR atas KPK adalah Tidak Sah, Bertentangan dengan UUD 1945, bahkan merupakan Tindak Pidana Obstruction of Justice.

Berikut adalah keterangan tertulis saya selaku Ahli tersebut. Silakan klik di SINI.

Semoga bermanfaat.

Melbourne, 13 September 2017

Denny Indrayana

CPNS = Calon Pengawai Nihil Setoran

12 Aug 17
Denny Indrayana
No Comments


HARI-HARI ini sedang dimulai proses rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ini adalah proses yang sangat penting untuk membangun birokrasi yang profesional dan bersih. Ibarat perjalanan hidup, ini adalah awal yang akan menentukan akhir perjalanan. Tentu orang bisa berubah, tetapi kalau awalnya sudah buruk, maka sulit diharapkan hasilnya akan baik.

Dalam kolom “Ijab Halal CPNS” (klik: http://dennyindrayana.staff.ugm.ac.id/publication/banjarmasinpost/), saya menyetarakan proses seleksi CPNS dengan ijab-kabul pernikahan. “Bayangkan saja jika lafadz ijab kabul CPNS dengan Kemenkumham adalah: Saya terima CPNS dengan mas kawin uang suap Rp 150 juta. Bila ijabnya demikian, relasi selanjutnya yang terbangun pastilah haram, dan penuh kemaksiatan”.

Untuk menjaga agar relasi antara CPNS dengan tempat kerjanya adalah hubungan yang halal dan barokah, izinkan saya berbagi kisah pengalaman melakukan rektrutmen PNS di Kemenkumham sewaktu menjadi Wamen 2011—2014.

Tentang pengalaman lulus seleksi CPNS tanpa setoran, Muhammad Ilham salah satu peserta tes tahun 2012 menuliskan keharuannya:

 “Saya terus scroll ke atas dan akhirnya saya menemukan nama saya urutannya paling atas di formasi Pengaman Pemasyarakatan. Saya berteriak Alhamdulillah, keras sekali sampai tetangga saya bertanya, ada apa. Saya langsung sujud syukur dan menangis gembira tiada henti-hentinya. Saya telepon ibu saya agar pulang ke rumah. karena ibu saya jualan sembako dan hanya saya yang bantu-bantu.

Beliau berjualan di pasar. Ibu saya tanya, “ada apa”. Tapi saya belum memberitahukannya dan hanya menyuruhnya pulang sebentar ke rumah. Sesampainya ibu di rumah, beliau melihat saya menangis. Beliau kaget ada apa. Akhirnya, saya memberitahukan bahwa saya lolos seleksi CPNS Kemenkum HAM 2012.

Saya langsung peluk dan cium ibu saya. Ibu saya pun juga menangis. Mengingat banyak tetangga yang berkata kepada ibu saya, “Berat bu, Ilham bisa lolos, karena pasti banyak ‘bawaan’. Tapi ibu saya tidak pernah menanggapinya. Alhamdulillah terbukti omongan orang lain itu tidak benar. Bahwa saya dapat lolos seleksi Kemenkum HAM tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Semua tetangga  terkejut, dan memberi ucapan selamat kepada saya dan ibu.

Tidak lama berita itu cepat tersebar dari mulut ke mulut. Mereka seakan tidak percaya saya bisa lolos dengan hasil murni tanpa mengeluarkan uang seperti yang mereka bicarakan. Semua teman mengaji memberi selamat kepada ibu dan ada yang sampai menangis terharu. Anak yatim yang dibesarkan hanya dari kasih sayang seorang ibu membuat bangga keluarga. Ibu saya sangat bangga kepada saya dan saya persembahkan kelulusan ini kepada almarhum ayah saya.” (Denny Indrayana, “Awali Bismillah, Jaga Integritas”

http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/03/27/awali-bismillah-jaga-integritas?page=all

Sekali lagi, proses rekrutmen ini adalah awal yang sangat krusial. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa rekrutmen PNS kita sarat dengan praktik-praktik koruptif. Saya tidak perlu berpanjang kata untuk mengulang lagu lama proses rekrutmen yang penuh dengan titipan katabelece, nepotisme, sampai jual-beli kelulusan.

Dalam rekrutmen CPNS 2012, saya menemukan beberapa pegawai Kemenkumham yang dengan aktif menjual formasi CPNS. Satu posisi dihargai ratusan juta rupiah. Saya menyempatkan diri bertemu langsung yang bersangkutan dan menginterogasinya. Berawal dari pengaduan yang saya terima, kami terbang ke salah satu provinsi di selatan Sumatera. Dari awalnya membawa Informasi bahwa korbannya hanya satu-dua, akhirnya melalui Teknik interogasi, kami tahu korbannya minimal belasan. Kepada yang bersangkutan dijatuhkan sanksi kepegawaian yang tegas, dan juga ada proses hukum yang dilakukan korban. Tetapi, harus dicatat, tidak mudah menjatuhkan sanksi kepada PNS, jalannya berliku. Saya mendukung langkah Menkumham yang langsung memecat pegawai koruptif—menerima pungli, menjadi bandar narkoba dll. Tindakan tegas harus dilakukan, karena pembiaran dan proses penghukuman yang lambat jelas bukanlah solusi.

 Di Yogyakarta, saya menemukan kisah jual-beli PNS yang lain. Sekali lagi, berdasarkan pengaduan masyarakat, saya yang kebetulan sedang kunjungan kerja ke kota Gudeg memanggil seorang sipir yang dilaporkan menerima uang untuk meluluskan PNS. Jumlahnya tidak sebanyak yang di Sumatera, Rp 25 juta untuk meluluskan posisi sipir. Dalam kasus yang ini saya dihadapkan pada dilemma menghukum seorang sipir tua, yang sudah lama mengabdi, tidak terlalu mapan secara ekonomi, tetapi telah melakukan praktik jual-beli penerimaan PNS. Meski berat, saya tetap minta yang bersangkutan di proses, bagaimanapun meskipun ini corruption by need pesan tegas harus disampaikan: tolerasi, sekecil apapun, tidak boleh ditunjukkan untuk praktik-praktik curang korupsi!

Sulitkah melawannya?

Sebenarnya tidak. Satu, siapkan tim penerima yang tahan godaan, dipimpin oleh Ketua Panitia dan pimpinan lapangan yang mempunyai Integritas tak terbeli. Dua, siapkan sistem pengawasan yang baik dan berjenang—buka jalur pengaduan langsung kepada pimpinan. Karena itu saya membuka komunikasi dan membagikan langsung nomor hape, akun social media dll ke khalayak ramai, dan menerima banyak pengaduan, yang terbukti benar. Tiga, siapkan sistem ujian yang obyektif di setiap jenjang, tidak mudah dimanipulasi. Misalnya menggunakan CAT (computer assessment test) yang terbukti handal menghasilkan hasil ujian yang cepat dan fair.

CAT digunakan oleh Kemenkumham untuk penerimaan Calon PNS tahun 2012. Baru pada tahun itulah,  setelah lebih 67 tahun kita merdeka, CPNS dapat betul-betul mengetahui hasil ujian tertulisnya. Mereka bisa membandingkan nilai tesnya satu sama lain. Transparansi demikian menjadi sistem pengawasan yang sangat efektif. Karena masing-masing peserta bisa tahu bahwa yang diterima memang adalah peserta dengan nilai terbaik—tanpa kongkalikong atau hengki-pengki dibalik prosesnya.

Di samping menggunakan tes berbasis teknologi, dalam hal pengawasan, kami juga meminta agar dipadukan antara pengawasan internal kemenkumham dengan eksternal publik. Selain diawasi oleh jajaran Inspektoral Jenderal, kami juga melibatkan unsur perguruan tinggi (melalui organisasi mahasiswa kampus), public melalui lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga negara seperti Ombudsman. Di setiap provinsi unsur internal Itjen Kemenkumham, mahasiswa, LSM dan ombudsman itu menjadi jangkar pengawasan tahapan rekrutmen. Maka partner kerja kami dalam mengawasi rekrtumen CPNS di antaranya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa UGM, UI, Indonesia Corruption Watch dll.

CAT (ujian dengan komputer) kami letakkan pada akhir ujian, bukan di tahap lebih awal. Mengapa demikian? Karena kalau ada yang masih coba-coba membayar dan lolos di tahap-tahap awal seleksi, maka yang bersangkutan tidak akan bisa membayar di tahap akhir, yang ujiannya dihadapkan dengan komputer—bukan manusia, sehingga tidak bisa disuap.

Hasilnya menggembirakan. Saya bertemu banyak cerita Calon PNS 2012 yang berhasil lolos dengan murni. Salah satu indikasinya mereka datang dari keluarga yang kurang mampu, sehingga bukan saja tidak mau membayar, tetapi memang tidak ada kemampuan untuk membayar. Banyak cerita sedih sekaligus inpiratif dari CPNS tersebut. Saya yang keliling beberapa kota menyambut kedatangan mereka, meminta mereka untuk menuliskan pengalamannya mengikuti seleksi.

Mengalirlah kisah ikut ujian CPNS dengan harus berjalan kaki beberapa kilometer karena tidak punya uang transport, berbagi kost dan makanan karena sangu yang minim. Kisah-kisah perjuangan yang mengharukan itu masih saya simpan, dan menjadi kenangan manis bagaimana mengawal proses seleksi CPNS = Calon Pegawai Nihil Setoran, bukanlah suatu hal yang mustahil.

Untuk Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih antikorupsi. Keep on fighting for the better Indonesia.

Melbourne, 12 Agustus 2017

Baca pula kolom saya berikut soal rekrutmen CPNS:

http://banjarmasin.tribunnews.com/2012/10/23/cpns-tanpa-setoran?page=all

http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/09/10/cpns-calon-pegawai-nihil-setoran?page=all

Jualan ThreeVee dari Aussie & Pengalaman Hidup yang Penuh Warna

10 Aug 17
Denny Indrayana
No Comments

https://m.kumparan.com/…/eks-wamenkum-cari-tambahan-pemasuk…

ThreeVee, adalah usaha bisnis online keluarga kami yang menjual barang dari Australia. Kami palugada. Apa Lu Perlu Gua Ada. Anda perlu sesuatu dari Aussie, hubungi kami, kami sediakan.

ThereeVee diambil dari huruf awal nama anak-anak kami Varis, Varras, dan insya Allah adiknya yang sekarang jalan 6 bulan di kandungan bunda Ida Rosyidah.

“Lho, kok Pak Wamen jualan sepatu?” Beberapa teman menanyakan. Saya hanya tersenyum.

Izinkan saya menjawabnya dengan cerita.

Empat puluh lima tahun yang lalu. Saya lahir di satu pulau kecil di sebelah tenggara Kalimantan Selatan: Pulau Laut. Ayah Sunda, Ibu Banjar, Nenek Tionghoa. Saya Indonesia.

Sedari kecil orang tua saya mengajarkan hidup mandiri. Ketika SD, saya berjualan es mambo, dan menaruhnya di kantin sekolah. Setiap berangkat, termos es terasa berat diangkat karena hampir seukuran dengan badan saya yang mungil. Di akhir pekan, saya membantu menjadi kernet angkot, yang disopiri Ayah. Suara cempreng saya meneriakkan jurusan antara kota Banjarbaru dan Martapura, kota intan di Kalimantan Selatan. Maka, ketika sekarang saya terkadang menjadi supir travel di Melbourne, sebenarnya saya naik pangkat dari dulu pernah menjadi kernet.

Ketika studi doktoral di Melbourne Law School, lima belas tahun yang lalu, saya bekerja sebagai buruh pasar, yang membuka dan menutup toko di Victoria Market. Pagi sebelum ke kampus saya mampir untuk membuka toko, dan sorenya saya menutup dan beres-beres dagangan, memasukkannya ke lemari besi dan truk (Lihat Video Buruh Pasar Vicmart)

Di pagi hari tertentu, saya berdiri di simpang jalan ramai pusat kota Melbourne, dan membagikan majalah “City Weekly” kepada pejalan kaki yang lalu Lalang. Dalam dua jam, saya bagikan sekitar 200-an majalah komunitas tersebut. Seragam merah-hitam City Weekly, adalah salah satu pakaian dinas harian saya (lihat gambar).

Terkadang untuk mengusir kebosanan berdiri di simpang jalan, di tengah kota Melbourne, saya membagikan City Weekly sambil mendendangkan lagu dangdut. Salah satu lagu favorit yang saya teriakkan adalah “Kegagalan Cinta”.

Cukup sekali, aku merasa
Kegagalan cinta…
Takkan terulang, kedua kali
Di dalam hidupku…
Hu hu hu hu
Ya nasib ya nasib …
Mengapa begini?
Baru pertama bercinta
Sudah menderita …

Tentu saya menyanyi sambil sedikit bergoyang. Beberapa bule yang lewat, tersenyum. Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Yang pasti mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia. Mungkin mereka berpikir suara cengkok saya yang merdu, atau mungkin juga mereka kasihan dengan telinganya yang terkena polusi suara sumbang saya. Entahlah… ?

Videonya, saat saya berdangdut ria dan bergoyang, nanti akan muncul eksklusif pada saatnya.

Itulah sekelumit jalan hidup saya. Penuh warna. Tidak hanya mulus menjadi Staf Khusus Presiden, Wamenkumham, Guru Besar Tamu di Universitas Melbourne. Saya juga pernah menjadi penjual es mambo, kernet, sopir, buruh pasar, loper majalah, dan sekarang membuka usaha dagang “ThreeVee” untuk Varis, Varras, dan the other Vee.

Hidup adalah kenikmatan yang penuh kejutan warna dan makna. Perjalanan yang tidak hanya lurus, tidak jarang berliku. Saya ingin anak-anak saya, the ThreeVee, akan siap menghadapi tantangan hidup yang tidak selalu indah, tetapi tidak jarang berwarna duka. ThreeVee adalah wadah pembelajaran untuk mereka, sekaligus kami, untuk terus mencari rezeki secara halal, tanpa tipu-daya, tanpa korupsi.

Jadi, jangan lupa follow kami di Instagram @threeVeeShop, atau Toko Pedia https://goo.gl/b4WsxU dan jangan lupa belanja. ?

Salam rindu dari Melbourne,
The ThreeVee

Varis, Varras, the other Vee

Membayar Utang Mata pada Novel Baswedan

31 Jul 17
Denny Indrayana
No Comments

 

Membayar Utang Mata pada Novel Baswedan

 

Hari ini Kapolri menghadap Presiden Jokowi, dan melaporkan perkembangan kasus teror air keras ke wajah Novel Baswedan, salah satu penyidik senior yang paling banyak menangani kasus korupsi kakap di KPK. Pertemuan itu penting untuk menegaskan komitmen antikorupsi Presiden Jokowi. Di tengah banyak sikap pasif beliau dalam serangan-serangan kepada KPK, utamanya dalam hak angket yang dipelopori oleh banyak partai politik pendukung pemerintah di DPR, maka mengungkap penyerang Novel adalah hal penting yang sewajibnya dilakukan presiden.

Dalam wawancara dengan beberapa media massa, Novel sudah menyatakan tidak mempersoalkan terungkap atau tidaknya penyerangnya. Mengapa demikian? Sebenarnya karena Novel dan kita sama-sama paham bahwa polisi sudah sangat terlatih mengungkapkan kasus penyerangan yang demikian. Foto pelaku–sketsanya hari ini dimuat di halaman satu Koran Tempo–sudah diketahui polisi sejak awal, bukti-bukti sidik jari di gelas yang digunakan pelaku–meskipun kabarnya berusaha dihapus, sudah dipegang polisi. Maka, tidak terungkapnya pelaku setelah 111 hari hanya menyisakan dua kemungkinan. Satu, pelaku sangat hebat sehingga polisi kehilangan keahliannya untuk mengungkapkan kasus ini; atau, dua, pelaku terlalu “besar” sehingga polisi kesulitan menyentuhnya.

Dari berbagai informasi yang saya dapat, kemungkinannya mengarah ke yang kedua. Pelaku terlalu “besar” sehingga polisi kesulitan untuk menangkapnya. Yang dimaksud “besar” di sini tentu bukan pelaku lapangan, yang sudah terdeteksi lewat sketsa, CCTV dan lain-lain. Tetapi adalah pelaku intelektual, yang punya banyak kekuatan dan dukungan, dan karenanya untouchable.

Berhadapan dengan pelaku “besar” demikian, tidak ada kekuatan lain yang lebib pantas untuk turun gelanggang, selain presiden. Negara tidak boleh membiarkan pelaku penyerangan kepada Novel terus berkeliaran tanpa tersentuh hukum. Mengapa demikian? Karena, meski yang berulang kali diserang adalah Novel pribadi, tetapi esensinya pelaku sedang menyerang seluruh elemen gerakan antikorupsi, khususnya KPK yang diakui atau tidak adalah garda terdepan kita dalam memberantas korupsi.

Presiden Jokowi terus mengasosiasikan dirinya sebagai sosok yang antikorupsi, bersih dan sederhana. Tetapi dalam momen-momen penyerangan kepada KPK, presiden relatif lebih banyak pasif dan tidak muncul melakukan pembelaan. Padahal sebagai kepala negara, sebagai nakhoda perahu antikorupsi, Presiden adalah penentu arah perjalanan bangsa ini melawan serangan balik para koruptor.

Saya menduga, dalam laporan hari ini Kapolri sebenarnya berkesempatan untuk melaporkan siapa aktor lapangan, bahkan pelaku intelektualnya. Sekarang menjadi tanggung jawab Presiden Jokowi untuk mendorong dan memenuhi janjinya mengungkap kasus ini hingga tuntas–sebagaimana instruksinya ketika kasus penyerangan ini pertama kali muncul di pemberitaan.

Kita, dan utamanya Presiden Jokowi berutang mata kepada Novel Baswedan. Dan utang, betapapun beratnya, wajib dibayar. Apalagi, saya masih berkeyakinan Presiden Jokowi mampu melunasinya. Kecuali pelaku itu memang terlalu “besar”, sehingga Presiden sendiripun tidak bisa melawannya. Wallahu’alam.

Melbourne, 31 Juli 2017

Denny Indrayana

Terangnya Mata Kiri Novel Baswedan, Gelapnya Mata Hati Kita

25 Jul 17
Denny Indrayana
No Comments

 

Ba’da sholat shubuh saya membaca wawancara Kompas (Billy Khaerudin) dengan Novel Baswedan. Lagi, setiap mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya, hati bergetar. Novel terus menularkan semangat antikorupsi dan kebertuhanan yang kuat. Foto Novel, dengan bulat hitam mata kirinya yang telah memutih mengirimkan kesan dalam, untuk terus berjuang. Melawan koruptor, tidak ada pilihan lain kecuali terus memupuk harapan untuk menang, dan tidak memberi kesempatan untuk kalah.

Novel adalah sosok yang tenang sekaligus keras. Saya bertemu dia dalam beberapa kesempatan. Wajahnya bersih-putih, terawat. Tutur katanya runtut dan tenang. Namun, jangan tertipu dengan tampilannya yang kalem, dan ukuran tubuhnya yang biasa saja. Di dalam tubuh dan pikirannya, ada kekuatan kebenaran. Ada cahaya antikorupsi yang terang-benderang. Takutnya hanya pada Sang Pencipta, tidak pada yang lain. Itu kekuatan juang tauhid yang ditancapkannya untuk melawan kuasa koruptor yang secara mata fisik meraksasa, namun secara mata batin menyimpan kekerdilan. Tidak ada hati koruptor yang tak gentar jika mendengar nama, atau menatap mata tajam Novel Baswedan.

Dalam wawancara dengan Tempo, kata-kata Novel yang tenang menyimpan aura tenaga yang sulit dipatahkan. Katanya, “Berani itu tidak mengurangi umur, takut juga tidak menambah umur. Jadi, kita tidak boleh menyerah. Jangan memilih takut, karena Anda akan menjadi orang yang tidak berguna.”

Novel adalah bukti dan legenda hidup serangan pada KPK. Serbuan dan hantaman koruptor kepada KPK beriring sejalan dengan teror kepada Novel. Tidak semua serangan itu diberitakan. Tetapi kita paham bahwa kriminalisasi sudah berulangkali dihadapinya. Ketika gonjang-ganjing kasus korupsi simulator SIM, Novel ditersangkakan. Kasus yang sama kembali dijeratkan ketika muncul gonjang-ganjing kasus korupsi “rekening gendut”. Terakhir adalah serangan teror air keras yang merusak mata kirinya, dan mengganggu mata kanannya.

Namun, bahkan dalam kegelapan mata kiri itu, Novel adalah asa yang terus menerangi gelap perjuangan antikorupsi kita. Ketika manuver Pansus Angket disikapi beragam oleh kita, ingatlah bahwa di KPK ada Novel Baswedan dan para rekannya yang terus berjuang untuk Indonesia yang lebih beradab dan antikorupsi. Biasanya, kita terbelah mendukung KPK karena ada perbedaan preferensi politik. KPK dianggap tidak tegas pada kasus yang menjerat musuh politik kita. Atau, KPK dianggap menyerang tokoh idola politik kita. Ayo buka mata hati kita. Jangan mudah dibutakan oleh “siraman air keras” kampanye pencitraan politik para koruptor.

Tentu KPK perlu terus dikawal agar tidak melakukan penyalahgunaan amanah antikorupsinya. Tetapi mendukung langkah koruptif untuk melemahkan KPK, nyata-nyata bukan pilihan. Jangan mudah diperdaya oleh dalih koruptor yang seolah ingin menguatkan KPK, padahal ingin membunuhnya. Koruptor tentu punya tipu-daya, punya berbagai tipu-muslihat, tetapi mata hati rakyat jelata yang bersih tidak akan pernah tertipu. Mari kita buka gelap mata batin kita, dan melihat terang melalui butanya mata kiri Novel Baswedan.

Akhirnya, negara dan kita tetap berutang mata kepada Novel. Tidak ada pilihan bagi kepolisian selain mengungkapkan siapa pelaku lapangan dan aktor utama dibalik teror air keras pada Novel Baswedan. Jika tidak kunjung terungkap pelakunya, Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan membentuk tim independen untuk mengungkap kasus tersebut. Penanganan kasus kriminaliasi komisoner KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto oleh tim independen yang diketuai almarhum Adnan Buyung Naution—saya menjadi Sekretaris Tim—adalah salah satu contohnya. Meskipun, dalam kejahatan teror koruptif semacam ini, bahkan tim independen sekalipun belum tentu berhasil tuntas menjalankan tugasnya. Kita tentu ingat, bahwa kita masih berutang nyawa untuk mengungkap pelaku utama tragedi pembunuhan almarhum Munir.

Tapi, bagaimanapun sulitnya. Negara tidak boleh kalah. Taruhannya terlalu besar untuk membiarkan pelaku teror koruptor itu terus bebas tertawa puas, menikmati tindakan biadabnya yang tidak kunjung terungkap ataupun berbalas hukuman yang setimpal.

Negara, polisi, dan kita berutang mata pada Novel Baswedan, dan utang itu wajib dibayar!

Melbourne, 25 Juli 2017

NB: Terima kasih buat Billy Kompas untuk wawancara dan foto-fotonya.

The Next Book: Jangan Bunuh KPK

24 Mar 16
Denny Indrayana
No Comments

denny pistol-COVERInsya Allah, my next book “Jangan Bunuh KPK”, Don’t Kill the KPK (Corruption Eradication Commission) will be published on August. This book is supported by Indonesia Corruption Watch and Anti-Corruption Centre (PuKAT Korupsi).

 

Update:
This link is your source to download the book

Bahasa Indonesia

English

Payment Gateway Case

10 Mar 16
Denny Indrayana
No Comments

I was named as a suspect by Bareskrim (the Police) in March 2015. Since then, many people have asked me about the so called “Payment Gateway” case. It is actually my attempt to change the passport payment from manual to online system. The goal is to eliminate the complicated, inefficient, corrupt and full of calo (brokers) process.

Regardless the questions, I have been quiet. Now, after more than one year, I think it is about the time for me to share some of these supports to my case from very well-known and trusted public figures. These articles off course did not discuss my case in detail. However, I hope you can feel and get some ideas. Further about the case, please click “HERE”.

Free Books

07 Mar 16
Denny Indrayana
No Comments

Publications

I have published 7 (seven) books. Most of the books are not available anymore in stores. Every author, including me, will be happy if our books are read by many people. Please do click the books under my Publications. Enjoy reading!

Free Materials

07 Mar 16
Denny Indrayana
No Comments

Anybody wants to access my courses materials, research, papers, articles and presentations, please click the link Courses, Publications and Presentations. The materials will be completed from time to time. I set it as open access materials. However, please do remember my copy right, especially when you use it for academic purposes. Happy reading!