Friends’ Opinions

Friends’ Articles about Denny Indrayana:

 

Senin 16 Mar 2015, 09:42 WIB

Kolom Refly Harun
Kontroversi Denny, Pro-Kontra Indrayana

– detikNews

Menulis soal Denny adalah menulis kontroversi. Menulis Indrayana adalah menulis pro dan kontra. Saya ingin memulai tulisan ini dengan rima seperti itu. Sudah beberapa hari ini saya ingin menulis tentang Profesor Denny Indrayana. Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu sedang dibidik atas kasus payment gateway di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Niat itu selalu tertunda-tunda. Selain rasa malas yang secara manusiawi sering menghinggapi seorang penulis, hal lain yang menerpa saya adalah ketidaksiapan menerima ‘risiko’ diumpat banyak pihak. Terutama, tentu saja, mereka yang tidak suka dengan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) itu. Hal lain lagi, Denny, toh, belum tersangka. Baru sekadar diperiksa. Belum jadi tersangka, juga belum ditahan. Jadi, ya, nggak seru.

Cuma kalau jadi tersangka dulu baru menulis, saya merasa berdosa juga. Soalnya tidak main-main, kasus yang bakal menjerat Denny itu adalah kasus korupsi. Akan menjadi paradoks luar biasa bila sosok yang selama ini sangat vokal dan berada di garda terdepan dalam barisan antikorupsi itu menjadi tersangka korupsi. Nalar saya jelas sangat tidak bisa menerima. Bagaimana mungkin?

Isu Antikorupsi

Saya mengenal Denny – begitu saya menyapanya – sudah sejak lama. Sejak di Kampus UGM. Denny, yang angkatan 91, dua tahun di bawah saya yang angkatan 89. Saya ‘ikut’ mengenalkan Denny pada dunia aktivitas kampus dan dunia hukum tatanegara. Tidak heran hingga saat ini Denny tetap memanggil saya ‘Abang’.

Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tatanegara dari Universitas Andalas, Padang, yang juga akrab dengan kami berdua, kerap protes soal legacy itu. Kepada Saldi, Denny memanggil nama saja. Padahal, di antara kami bertiga, Saldi yang paling tua. Denny kelahiran 1972, saya 1970, dan Saldi 1968. (Soal kelahiran, dasar ‘anak kampung’, Saldi menyatakan kemungkinan ia lahir pada tahun 1969. Namun, karena lahir di desa, orang tuanya tidak tahu persis tahun kelahirannya).

Selain dunia hukum tatanegara, soal yang menggerus perhatian Denny adalah isu-isu antikorupsi. Sudah dua lembaga yang didirikan Denny yang terkait dengan isu tersebut di Yogyakarta. Pertama, ICM (Indonesian Court Monitoring), lembaga yang dimaksudkan untuk memantau proses peradilan. Kedua, Pukat Korupsi UGM (Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada). Denny menjadi Ketua Pukat Korupsi pertama sebelum digantikan Zainal Arifin Mochtar. Jabatan itu ditanggalkan karena Denny melangkahkan kakinya ke istana.

Baik sebagai Ketua Pukat Korupsi UGM maupun ‘orang istana SBY’, Denny sesungguhnya tidak pernah berubah, tetap antikorupsi. Aktivis-aktivis antikorupsi, dari ICW (Indonesian Corruption Watch) misalnya, sangat merasakan betul fungsi Denny sebagai bridging (jembatan) antara negara (state) dan masyarakat sipil (civil society) dalam isu-isu antikorupsi. Termasuk antara istana dan lembaga-lembaga negara independen semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Untuk isu antikorupsi, Denny seperti tak mengenal jabatan. Sebagai staf khusus Presiden SBY yang juga Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Antimafia Hukum, sepak terjang Denny sering membuat banyak pihak gerah dan marah. Pernah ia menangkap basah Artalyta Suryani alias Ayin di ‘penjara mewah’. Pernah pula ia ‘menangkap’ Gayus Tambunan, yang timbunan uang hasil kutipan dari pembayar pajaknya memang sangat tambun.

Dalam soal sel mewah Ayin, seorang menteri kabarnya tersinggung, karena akhirnya terkena reshufle. Soal timbunan pajak Gayus Tambunan yang
tambun, salah seorang ketua umum partai besar negeri ini juga marah. Bahkan, seperti yang pernah dikatakan Denny kepada saya, pembesar itu menyatakan “kamu akan berhadapan dengan saya” ketika Denny berpapasan dengannya dalam suatu acara.

Ketika menjejak sebagai Wamenkumham, Denny membuat banyak gebrakan. Yang sering dilakukan adalah menginspeksi penjara, yang konon membuat sipir-sipir tersinggung dan tentu saja ketar-ketir. Di lingkungan internal Kemenkumham pun Denny banyak menerjang sana-sini untuk memotong rantai korupsi birokrasi.

Ketika tidak lagi menjadi Wamenkumham, Denny termasuk yang paling galak membela KPK dari pelemahan segala jurusan. Maka ketika Denny diutak-atik kelemahannya sampai berbuah dengan kasus payment gateway, hal itu tidak karena sekadar aktivitasnya membela KPK. Tidak. Banyak pihak yang menginginkan Denny jatuh.

Beberapa Pihak

Analisis saya, setidaknya ada enam pihak yang berkepentingan untuk mengkriminalkan Denny atau paling tidak bergembira bila sosok ini jatuh. Pertama, bisa jadi, lingkungan internal Kemenkumham sendiri. Mereka adalah orang-orang atau pejabat-pejabat yang terimbas sepak terjang Denny ketika beres-beres di kementerian tersebut.

Kedua, elemen-elemen yang berseteru dengan SBY. Sudah jamak diketahui, Denny sangat ‘memuja’ SBY – hal yang juga saya risaukan, karena tak ada pemimpin yang sempurna. Soal SBY, Denny tak hanya menjadi orang istana, tetapi bersedia menjadi ‘bumper’ untuk menjelaskan sikap istana terhadap serangan-serangan yang dilancarkan pihak luar. Saya sempat membaca pertama kali soal kasus Denny ini justru dari tweet yang disebarkan orang dekat Anas Urbaningrum.

Ketiga, orang kuat yang pernah menyatakan, “kamu akan berhadapan dengan saya”. Selama menjadi anggota Satgas Antimafia Hukum, Denny beberapa kali menyinggung soal indikasi pengemplangan pajak oleh perusahaan milik orang kuat tersebut.

Keempat, kelompok yang pernah berseteru dengan Denny dalam isu Sisminbakum (sistem administrasi badan hukum), yang kebetulan menguasai beberapa media – tidak heran pula bila media tersebut termasuk yang getol memberitakan kasus Denny. Dalam kasus Sisminbakum, Denny sering berseteru dengan salah seorang guru besar hukum tatanegara.

Kelima, kelompok pengacara yang merasa tersinggung dengan tweet Denny soal pembela koruptor (yang membela dengan segala cara dan membabi buta) adalah koruptor itu sendiri. Gara-gara tweet ini, Denny diadukan oleh sejumlah pengacara dengan isu klasik “pencemaran nama baik”. Keenam, elemen-elemen dalam tubuh kepolisian yang selama ini mungkin jengkel dengan sepak terjang Denny dalam kasus Cicak-Buaya 1 (2009), Cicak-Buaya 2 (2012), dan terakhir Cicak-Buaya 3 (2015).

Banyak pihak, memang, yang memusuhi Denny. Sebagian pembaca kolom ini saya yakin juga bersikap pro dan kontra terhadap sosok Denny. Mereka yang tidak mengenal dekat Denny memang dengan mudah akan mencap kalau dia sombong, atau bahasa gaulnya songong. Gestur Denny memang sering dinilai seperti itu. Denny juga rupanya sadar soal penilaian itu. Beberapa kali ia mengatakan kalau dirinya dianggap songong. (Ah, kalau gestur, bentuk tubuh, dan hal-hal yang anugerah Ilahi [gifted] lainnya dipersoalkan, melalui twitter, seseorang pernah menyatakan saya licik karena melihat bentuk muka saya yang kebetulan panjang dan tirus).

Saya selalu yakin Tuhan tidak akan melarikan kebenaran terlalu jauh dan untuk waktu yang lama. Siapa pun yang akan menzalimi akan menerima pembalasannya. Cepat atau lambat. Bagi saya, satu yang harus saya pegang, Denny tidak pernah menerima kickback atau suap atas kasus payment gateway tersebut. Kalau menerima dan bisa dibuktikan secara genuine, perbuatan itu tak bisa dimaafkan.

Tapi kalau tak ada sepeserpun uang mengalir ke kantong Denny dari jasa payment gateway tersebut, saya terus akan mengabarkan kebenaran seorang Denny Indrayana. Mungkin banyak orang yang tidak suka dengan gestur Denny yang dianggap orang sombong atau songong, tapi bagi saya, gaya tidak terlalu penting. Kalau kesempurnaan tak bisa didapatkan, saya lebih membenci orang sopan yang korupsi ketimbang orang sombong yang antikorupsi.

Den, seperti yang sering Anda tulis dalam banyak kesempatan, keep on fighting for the better Indonesia. Salam.

Jakarta, 16 Maret 2015

*) Refly Harun, Ahli Hukum Tatanegara